MAKALAH ULAMA AWAL DAN WALISONGO

ini adalah makalah ulama awal dan walisongo yang di buat untuk tugas SKI ketika saya masih di bangku SMA, semoga bisa bermanfaat



KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh
            Alhamdulillah puji syukur kepada  Allah SWT. yang telah memeberikan rahmat dan kemudahan sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas dalam pembuatan makalah tentang “Peranan Wali Songo dan Islamisasi di Indonesia” sebagai tugas yang harus terselesaikan. Pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh guru SKI (Sejarah Kebudayaan Islam).
            Mudah-mudahan, dengan pembuatan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang membaca. Dan atas perhatiannya penyusun berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran, yang sekiranya mampu membangun penyusun untuk memperbaiki sehingga lebih baik lagi.
            Atas perhatiannya penyusun ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Leuwiliang , 27 Januari 2014

Penyusun












BAB 1
PENDAHULUAN
I.LATAR BELAKANG
Beberapa ulama besar yg membawa pembaharuan Islam di Indonesia di akhir tahun 1800-an dan awal tahun 1900 Masehi tidak hanya belajar di Indonesia saja, tetapi mereka belajar bertahun-tahun di Mekah.
Tercatat dalam sejarah bahwa para ulama2 pembaharu tersebut ternyata belajar juga pada salah seorang guru, yang merupakan juga seorang yg berasal dari Indonesia dan merupakan Imam Masjidil Haram pada saat itu. Beliau adalah Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
Dan Seperti yang kita ketahui selama ini bahwa proses perkembangan Islam di Indonesia melewati berbagai zaman yang di antaranya seperti zaman rosul dan sahabat, zaman dinasti Abbasiyah, zaman dinasti Uma’iyah, pada masa Orde lama, dan juga pada zaman Kemal At-Tattur di Turki. Dan yang paling berpengaruh dan dikenal di pulau Jawa yaitu sejarah tentang peradaban Islam pada masa walisongo.
Walisongo mempunyai peranan penting dalam proses peradaban islam di tanah jawa, karena kebudayaan-kebudayaan Hindu Budha telah berhasil di adaptasikan dan di interprestasikan menjadi budaya islam, tentunya tidak menyimpang dari Islam sendiri, dan yang pasti dapat menjadi hiburan untuk masyarakat.Bahkan hingga kini masih sering kita dengar tembang-tembang dari tokoh walisongo.

II.     RUMUSAN MASALAH
1. bagaimana sejarah tentang ulama awal di indonesia?
2. Bagaimana peranan  Walisongo dalam penyebaran agama islam ?
3. Siapakah tokoh-tokoh Walisongo?
4. Bagaimana cara tokoh-tokoh dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa pada masa itu?

III. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui tentang sejarah ulama awal di indonesia
2. untuk  dapat mengetahui bagaimana peradaban islam di indonesia khususnya di tanah    jawa pada masa walisongo.
3.  untuk dapat mengetahui siapa sajakah tokoh-tokoh walisongo,dimana tempat kelahirannya, dan bagaimana kisah hidupnya.










BAB 2
PEMBAHASAN

A.    ULAMA AWAL DI INDONESIA
Proses penyebaran Islam di wilayah Nusantara tidak dapat dilepas dari peran aktif para ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik dikalangan masyarakat. Di antara Ulama tersebut adalah sebagai berikut:

Hamzah Fansuri
Ia hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda sekitar tahun 1590. Pengembaraan intelektualnya tidak hanya di Fansur-Aceh, tetapi juga ke India, Persia, Mekkah dan Madinah. Dalam pengembaraan itu ia sempat mempelajari ilmu fiqh, tauhid, tasawuf, dan sastra Arab.

Syaikh Muhammad Yusuf Al-Makasari
Beliau lahir di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M/1037 H. Ia memperoleh pengetahuan Islam dari banyak guru, di antaranya yaitu; Sayid Ba Alwi bin Abdullah Al-‘allaham (orang Arab yang menetap di Bontoala), Syaikh Nuruddin Ar-Raniri (Aceh), Muhammad bin Wajih As-Sa’di Al-Yamani (Yaman), Ayub bin Ahmad bin Ayub Ad-Dimisqi Al-Khalwati (Damaskus), dan lain sebagainya.

Syaikh Abdussamad Al-Palimbani
Ia merupakan salah seorang ulama terkenal yang berasal dari Sumatra Selatan. Ayahnya adalah seorang Sayid dari San’a, Yaman. Ia dikirim ayahnya ke Timur Tengah untuk belajar. Di antara ulama sezaman yang sempat bertemu dengan beliau adalah; Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Bugis Al-Batawi dan Daud Al-Tatani.

Syaikh Muhammad bin Umar n-Nawawi Al-Bantani
Beliau lahir di Tanar, Serang, Banten. Sejak kecil ia dan kedua saudaranya, Tamim dan Ahmad, di didik oleh ayahnya dalam bidang agama; ilmu nahwu, fiqh dan tafsir. Selain itu ia juga belajar dari Haji Sabal, ulama terkenal saat itu, dan dari Raden Haji Yusuf di Purwakarta Jawa Barat. Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan menetap disana kurang lebih tiga tahun. Di Mekkah ia belajar Sayid Abmad bi Sayid Abdurrahman An-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati dan Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Sedangkan di Madinah ia berguru kepada Syaikh Muhammad Khatib Sambas Al-Hambali. Selain itu ia juga mempunyai guru utama dari Mesir.
Pada tahun 1833 beliau kembali ke Banten. Dengan bekal pengetahuan agamanya ia banyak terlibat proses belajar mengajar dengan para pemuda di wilayahnya yang tertarik denga kepandaiannya.. tetapi ternyata beliau tidak betah tinggal di kampung halamannya. Karena itu pada tahun 1855 ia berangkat ke Haramain dan menetap disana hingga beliau wafat pada tahun 1897 M/1314 H.

Syekh Jumadil Qubro
Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu cucu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Martin van Bruinessen (1994) menyatakan bahwa ia adalah tokoh yang sama dengan Jamaluddin Akbar (lihat keterangan Syekh Maulana Akbar di bawah).
Sebagian babad berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak, yaitu Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa. Syekh Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian, beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah cicitnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah, selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[2]

Syekh Maulana Akbar
Syekh Maulana Akbar adalah seorang tokoh di abad 14-15 yang dianggap merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, dan ia kemungkinan besar adalah juga tokoh yang dipanggil dengan nama Syekh Jumadil Kubro, sebagaimana tersebut di atas. Hal ini adalah menurut penelitian Martin van Bruinessen (1994), yang menyatakan bahwa nama Jumadil Kubro (atau Jumadil Qubro) sesungguhnya adalah hasil perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa.[3]
Silsilah Syekh Maulana Akbar (Jamaluddin Akbar) dari Nabi Muhammad SAW umumnya dinyatakan sebagai berikut: Sayyidina Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Jalal Syah, dan Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar).
Menurut cerita rakyat, sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari keturunan Syekh Maulana Akbar ini. Tiga putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia Tenggara; adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim as-Samarkandi) ayah Sunan Ampel yang berdakwah di Champa dan Gresik, Ali Nuralam Akbar kakek Sunan Gunung Jati yang berdakwah di Pasai, dan Zainal Alam Barakat.
Penulis asal Bandung Muhammad Al Baqir dalam Tarjamah Risalatul Muawanah (Thariqah Menuju Kebahagiaan) memasukkan beragam catatan kaki dari riwayat-riwayat lama tentang kedatangan para mubaligh Arab ke Asia Tenggara. Ia berkesimpulan bahwa cerita rakyat tentang Syekh Maulana Akbar yang sempat mengunjungi Nusantara dan wafat di Wajo, Makasar (dinamakan masyarakat setempat makam Kramat Mekkah), belum dapat dikonfirmasikan dengan sumber sejarah lain. Selain itu juga terdapat riwayat turun-temurun tarekat Sufi di Jawa Barat, yang menyebutkan bahwa Syekh Maulana Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon, meskipun juga belum dapat diperkuat sumber sejarah lainnya.

Syekh Quro
Syekh Quro adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu pesantren Quro di Tanjungpura, Karawang pada tahun 1428.[4]
Nama aslinya Syekh Quro ialah Hasanuddin. Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama} asal Mekkah, yang berdakwah di daerah Karawang. Ia diperkirakan datang dari Champa atau kini Vietnam selatan. Sebagian cerita menyatakan bahwa ia turut dalam pelayaran armada Cheng Ho, saat armada tersebut tiba di daerah Tanjung Pura, Karawang.
Syekh Quro sebagai guru dari Nyai Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang yang cantik dan halus budinya, kemudian dinikahi oleh Raden Manahrasa dari wangsa Siliwangi, yang setelah menjadi raja Kerajaan Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Kian Santang yang selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat.
Makam Syekh Quro terdapat di desa Pulo Kalapa, Lemahabang, Karawang.

Syekh Datuk Kahfi
Syekh Datuk Kahfi adalah muballigh asal Baghdad memilih markas di pelabuhan Muara Jati, yaitu kota Cirebon sekarang. Ia bernama asli Idhafi Mahdi.
Majelis pengajiannya menjadi terkenal karena didatangi oleh Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuwana), yang merupakan putra-putri Nyai Subang Larang dari pernikahannya dengan raja Pajajaran dari wangsa Siliwangi. Di tempat pengajian inilah tampaknya Nyai Rara Santang bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah kemudian hari dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Makam Syekh Datuk Kahfi ada di Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati.

Syekh Khaliqul Idrus
Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang muballigh Parsi yang berdakwah di Jepara. Menurut suatu penelitian, ia diperkirakan adalah Syekh Abdul Khaliq, dengan laqob Al-Idrus, anak dari Syekh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.
Syekh Khaliqul Idrus di Jepara menikahi salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan Raden Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Patah, bergelar Adipati Bin Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur di Malaka 1521, Pati Unus dipanggil dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. [5]














B.WALI SONGO

 I. Wali Songo dan Dakwah Islam          

     Dakwah Islam menyebar sampai kekaisaran di Cina yaitu Katon, Sumatra,dan  Kalingga sejak abad I hijriyah (644-656 M). Islam sampai ke Indonesia dibawa oleh para pedagang Arab, Gujarat, dan Persia.

     India dan Andalusia di Spanyol telah ikut kekhilafahan. Hal ini memudahkan penduduk nusantara memahami Islam disetiap aspek kehidupan, mulai dari aqidah, ilmu pengetahuan, ekonomi, sampai ilmu pemerintahan. Karena cara yang paling mudah untuk belajar adalah melihat  langsung syari’at Islam diterapkan.

     Perlak adalah tempat persinggahan para pedagang Arab dan Persia. Pada 839 M, berdiri Kesultanan Perlak dengan ibu kota Bandar Perlak yang berganti nama menjadi Bandar Khalifah. Sultan pertama Perlak adalah Sayyid ‘Alaihi Maulana  Abdul Aziz Syah. Saat itu di Kesultanan Perlak sudah dipergunakan syari’at Islam. Marcopolo menyebut Perlak The Law of Muhammad. Pada 986 M Perlak diserang oleh Sriwijaya Buddha.

Pada 1261 M, Muhammad Al Mustansir Billah dibai’at sebagai khalifah. Syarif Mekkah mengutus Syekh Ismail untuk mengukuhkan Marah Silu menjadi Sultan dari Kesultanan Pasai dengan gelar Sultan Malikul Saleh. Dan pada 1261 M, Pasai menjadi bagian dari Khilafah Abbasiyah dengan kontrol dari Mekkah. Dari Pasai, Islam menyebar luas lewat 2 jalur, yaitu jalur Malaka dan jalur Giri, Gresik.

Ø   Persiapan Penyatuan Nusantara dengan Kekhiafahan Abbasiyah

 Menyiapkan penyatuan dengan Kekhilafahan Abbasiyah dengan 2 jalur, yaitu:

1.      Menyiapkan rakyat kerajaan dengan memunculkan kesadaran Islam pada diri mereka.

2.      Menyiapkan ahlul quwwa, yakni pemilik kekuatan riil di kerajaan tersebut dengan mendakwahkan Islam kepada mereka dan membantu mereka dalam metode dan strategi agar mampu menerapkan syari’at Islam dengan baik.  Dalam sistem kerajaan Hindu dan Buddha, pemiik kekuatan riil adalah raja dan para pangeran karena kekuatan militer berada langsung di bawah mereka.

Ø  Pengiriman Ulama ke Nusantara

 Pada 8o8 H/1404 M berangkat 9 dai ulama dari berbagai tempat wilayah daulah khilafah atas sponsor Sultan Muhammad Jalaby dari Kesultanan Turki Utsmani ke tanah Jawa melalui Kesultanan Samudra Pasai. Para 9 dai ulama tersebut yaitu:

1.      Maulana Malik Ibrahim, ahli tata pemerintahan dari Turki.

2.      Maulana Ishaq, dari Samarkhan yang dikenal dengan Syekh Awalul Islam.

3.      Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.

4.      Maulana Muhammad Ahmad Al Maghriby, dari Maroko.

5.      Maulana Malik Ismail, dari Turki.

6.      Maulana Hasanudin dan Maulana Al Audin, dari Palestina.

7.      Syekh Subakir dan Muhammad Ali Akbar, dari Persia.

 Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu ke Pasai. Sultan Zaenal Abidin Badrian Syah, penguasa Samudra Pasai (1349/1406M) yang mengantar Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke tanah Jawa.

    II.            Model Penyebaran Islam Wali Songo                Islamisasi di nusantara melalui jalur perdagangan, pernikahan, pendidikan, dakwah (mubaligh), akulturasi dan asimilasi kebudayaan, dan dengan penaklukan daerah.

Ø  Perdagangan

    Dalam hal ini penyebaran agama Islam dilakukan oleh para pedagang Islam kepada pedagang-pedagang lain. Pada waktu berdagang, saudagar-saudagar dari Gujarat, Persia, dan Arab berhubungan atau bergaul dengan penduduk setempat (Indonesia). Mereka berhasil mempengaruhi penduduk setempat hingga tertarik untuk menganut agama Islam.

Ø  Pernikahan

    Seorang beragama Islam menikah dengan seorang beragama lain sehingga pasangannya masuk Islam. Contoh: pedagang Islam dari Gujarat, Persia, dan Arab menetap di ndonesia dan menikahi  wanita Indonesia. Di antara wanita yang mereka nikahi adalah para putri raja dan bangsawan. Berkat pernikahan itu, agama Islam menjadi berkembang. Keturunan-keturunan mereka memeluk agama Islam. Sesudah rajanya memeluk Islam, maka rakyatnya dengan mudah terpengaruh, sehingga mereka memeluk Islam.

Ø  Pendidikan

    Pendidikan agama Islam dilakukan dengan lembaga pesantren (pondok pesantren), perguruan khusus agama Islam. Penyebaran agama Islam melalui pondok pesantren berarti penyebaran melalui perguruan Islam. Perguruan ini mendidik para santri dari berbagai daerah. Setelah tamat, mereka mendirikan lembaga atau pondok pesantren di daerah asal mereka. Dengan demikian, agama Islam berkembang dan menyebar ke seluruh Indonesia.

Ø  Dakwah (mubaligh)

     Penyebaran agama Islam juga banyak disebarkan oleh para juru dakwah (mubaligh). Contoh: penyebaran agama Islam di Pulau Jawa dilakukan oleh para wali, yang kemudian terkenal dengan sebutan Wali Songo.

Ø  Akulturasi dan Asimilasi Kebudayaan

     Untuk mempermudah dan mempercepat berkembangnya agama Islam, penyebaran agama Islam juga dilakukan melalui penggabungan dengan unsur-unsur yang ada pada suatu daerah. Misalnya, penggunaan doa-doa Islam dalam upacara adat, seperti kelahiran, selapanan, perkawinan, seni wayang kulit, beberapa bangunan, ragam hias, dan kesusastraan.

     Tahun 1421-1436 M, datang 3 da’i ulama ke Jawa menggantikan dari yang wafat, yaitu Sayyid Ali Rahmatullah, putera Syekh Ibrahim dari Samarkhan, yang dikenal dengan nama Ibrahim Asmarakandy dari ibu puteri raja Campa atau yang dikenal dengan Sunan Ampel.

    
Gelar sunan berasal dari Susuhunan, yang berarti yang dijunjung tinggi atau panutan masyarakat setempat. Ada juga yang mengatakan sunan berasal dari kata Suhu Nan artinya guru besar atau orang yang berilmu tinggi.

     Misi dakwah ke tanah Jawa terorganisir dengan rapih dan pembagian tugas dan wilayah yang jelas. Pada sidang tahun 1346 yang diadakan di Ampel, Surabaya kelompok dakwah ini membagi tugas dakwah menjadi 9 pengurus atau wali.

1.  Sunan Ampel, Maulana Ishaq, dan Maulana Jumadil Kubro mengurus Jawa Timur.

2.  Sunan Kudus, Syekh Subakir, dan Maulana Al Maghriby mengurus Jawa Tengah.

3.  Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanudin, dan Maulana Al Audin mengurus Jawa Barat.

     Misi dakwah ini dikenal dengan misi dakwah wali songo dengan puncak pimpinan dipegang oleh Sunan Ampel yang memiliki akses paling dekat dan paling kuat dengan pemegang kekuasaan kerajaan Majapahit saat itu, yaitu sebagai keponakan Prabu Brawijaya Kertabumi.

    
Tahun 1463 mulai banyak da’i ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i  yang wafat atau pindah tugas.

*Raden Paku (Sunan Giri), putra dari Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardanu, putri dari Prabu Menaksimbuyu, Raja Blambangan.

*Raden Sa’id (Sunan Kalijaga), putra Adipati Minatikta, Bupati Tuban.

*Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Raden Qosim (Sunan Drajad), keduanya putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati, putri Prabu Kertabumi, Raja Majapahit.

     Gelar raden berasal dari kata rahadian (=tuanku), di kalangan para wali menunjukkan dakwah Islam sudah terbina dengan subur di kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit. Sehingga terbentuknya sebuah kesultanan tinggal tunggu waktu.

Akhirnya, setelah berjuang selama 75 tahun, target politik dakwah wali songo tercapai, berdirilah kesultanan Islam pertama di Jawa, yakni Kesultanan Demak pada tahun 1478 dengan Raden Hasan Al Fattah sebagai sultan pertama.






II. wali songo dan peranannya dalam menyebarkan agama islam
 1.   Syekh Maulana Malik Ibrahim

    
Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandy, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.  Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Maghribi. Sebagian rakyat juga menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishaq, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishaq adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, seorang ulama besar Ahlussunnah bermadzab Syafi’i  yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai kuturunan ke-10 dari Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam.

     Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, Muangthai, lalu Kamboja selama 13 tahun sejak tahun 1379. Ia menikahi putri raja Campa yang bernama Dewi Candrawulan,  yang memberinya dua putra, yaitu Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) dan Sayyid Ali Murtadha alias Raden Santri. Tahun 1392 Maulana Malik Ibrahim hijrah ke pulau Jawa. 

     Jauh sebelum Maulana Malik brahim datang ke pulau Jawa, sebenarnya sudah ada masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di daerah Leran. Hal itu dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyah atau pada tahun 1082 M.

    Jadi, sebelum zaman Wali Songo, Islam sudah ada di pulau Jawa yaitu daerah Jepara dan Leran. Tetapi Islam pada saat itu belum berkembang secara besar-besaran.

    Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat Gresik sudah ada yang beragama Islam, tetapi masih banyak yang beragama Hindu. Atau bahkan tidak beragama sama sekali.

     Dalam berdakwah, Maulana Malik Ibrahim menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan ajaran Al Qur’an:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-Mu dengan hikmah dan pen
1gajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl:125)

     Di Jawa, Syekh Maulana Malik Ibrahim bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan iman dari orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan musyrik.

     Dari huruf-huruf Arab yang ada di batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang dihormati para pangeran dan para sultan  ahli tata negara yang ulung, hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.

     Keterangan yang tertulis di makamnya adalah “Inilah makam almarhum Almaghfur, yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para pangeran, sendi para sultan dan para menteri, penolong para fakir dan miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol agama dan negara, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal, Allah meliputinya dengan rahmat-Nya dan keridhaan-Nya, dan dimasukkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal tahun 822 H.”

     Menurut literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik, hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak yang disembuhkannya dengan daun-daunan tertentu. Beliau juga yang mempunyai gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk.

     Sifat lemah lembut, welas asih, dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang setia.

     Sebagai misal, bila beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam sekali, beliau  tidak menerangkan Islam secara njelimet. Kaum bawah tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah, agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak lagi, sesudah itu mereka dianjurkan bersyukur kepada yang memberikan rezeki, yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala.

     Di kalangan rakyat jelata, Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi masyarakat menjadi empat kasta: kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut, kasta Sudra adalah yang paling rendah dan sering ditindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih tinggi. Maka ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seseorang di dalam Islam, orang-orang Sudra dan Waisya banyak yang tertarik. Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia sama sederajat. Orang Sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah, semua manusia adalah sama, yang paling mulia di antara mereka adalah yang paling takwa kepada-Nya.

     Mendengar keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta Sudra dan Waisya merasa lega, mereka sudah dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia utuh sehingga wajarlah bila mereka berbondong-bondong masuk Islam dengan suka cita.

    
Setelah pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk beribadah bersama-sama dan mengaji. Dan untuk mempersiapkan kader umat yang nantinya dapat meneruskan perjuangan menyebarkan Islam ke seluruh tanah Jawa dan seluruh Nusantara maka beliau kemudian mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam, tempat  mendidik, dan menggembleng para santri sebagai calon mubaligh.

     Syekh Maulana Malik Ibrahim juga mengajak Prabu Brawijaya, raja Majapahit, untuk masuk Islam. Namun Prabu Brawijaya bersikeras mempertahankan agama lama.

     Syekh Maulana Malik Ibrahim seorang wali yang dianggap sebagai ayah dari Wali Songo. Selesai membangun pesantren, beliau wafat di Gresik pada tahun 822 H atau 1419 M.
Makamnya kini terdapat di Kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.

2. Sunan Ampel

    Sunan Ampel bernama Raden Ali Rahmatullah ialah putera tertua dari Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya Sunan Ampel dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 M. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat di mana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampeldenta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (Kota Wonokromo sekarang).

    Pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Campa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit untuk mengatasi kemerosotan budi pekerti para adipati yang tak loyal lagi kepada keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya Kertabumi, dan kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan.

    Sunan Ampel datang ke tanah Jawa bersama ayah dan adiknya, yaitu Sayyid Ali Murtadha. Mereka singgah dulu ke daerah Gresik. Ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, Sayyid Ali Murtadha kemudian meneruskan perjalanan, beliau berdakwah keliling daerah Nusa Tenggara, Madura, dan sampai ke Bima. Di sana, beliau mendapat sebutan Raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati (bibinya sekaligus adik Dewi Candrawulan yang dipersunting oleh Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit).

    Sunan Ampel dijodohkan dengan salah satu putri Majapahit yang bernama Dewi Condrowati atau Nyai Ageng Manila. Dari pernikahannya itu, beliau dikaruniai beberapa putra dan putri. Di antaranya yang menjadi  penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat.

     Selanjutnya, pada hari yang ditentukan berangkatlah rombngan Raden Rahmat ke sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut sebagai Ampeldenta.

      Rombongan itu melalui desa Krian, Wonokromo terus memasuki Kembangkuning. Selama dalam perjalanan, beliau juga berdakwah kepada penduduk setempat yang dilaluinya. Dakwah yang pertama kali beliau lakukan cukup unik. Beliau membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan tertentu dan anyaman rotan. Kipas-kipas itu dibagikan kepada penduduk setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarnya dengan kalimat syahadat.

     Penduduk yang menerima kipas itu sangat senang. Terlebih setelah mereka mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam bersama rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit batuk dan demam. Dengan cara itu, semakin banyak orang yang berdatangan kepada Raden Rahmat (Sunan Ampel). Pada saat demikianlah ia memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai tingkat pemahaman mereka.

    
Desa Kembangkuning masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan karomahnya, Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan tempat shalat sederhana atau langgar. Tempat shalat tersebut sekarang telah dirubah menjadi masjid yang cukup besar dan bagus, dinamakan dengan nama Raden Rahmat yaitu Masjid Rahmat Kembangkuning.

     Di tempat itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh masyarakat itu bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut Raden Rahmat.

    
Dengan adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama. Beliau tidak langsung melarang mereka, melainkan memberikan pengertian sedikit demi sedikit tentang pentingnya ajaran ketauhidan. Jika mereka sudah mengenal tauhid, maka secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepercayaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam.

    
Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kepada beliau.

     Ajaran beliau yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu:

1.      Moh Main atau tidak mau berjudi.

2.      Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukan.

3.      Moh Maling atau tidak mau mencuri.

4.      Moh Madat atau tidak mau menghisap candu, ganja, dan lain-lain.

5.      Moh Madon atau tidak mau berzina/main perempuan yang bukan istrinya.

     Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian mngumumkan ajarannya adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak memeluk agama Islam, ia tidak mau. Ia ingin menjadi Raja Hindu yang terakhir di Majapahit.

    Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan di seluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa. Raden Rahmat pun menjelaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.

    Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai mufti atau pemimpin agama Islam se-Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri yang juga anggota Wali Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus, dan Sunan Gunungjati.

    Raden Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Wali Songo menggantikan kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan dengan pihak Majapahit.

     Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat berhati-hati , hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusayawaratan para Wali di Masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kaljaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel,”Apakah tidak mengkhawatirkan di kemudian hari bahwa adat istadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan, nantinya akan menjadi bid’ah.”

    
Dalam musyawarah itu, Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel,”Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lamayang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islam. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas  menjurus ke arah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekhawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.”

    Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agama Islam cepat diterima oleh orang Jawa, dan ini terbukti, dikarenakan dua Wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolerir Islam maka penduduk Jawa banyak yang berbondong-bondong  masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam lebih dulu dan sedikit demi sedikit mereka akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.

    
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disyiarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat umat semakin berhati-hati menjalankan syari’at agama dengan benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah menyelamatkan aqidah umat agar tidak tergelincir ke lembah musyrik.

     Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel.

3. Sunan Giri

Ø  Syekh Maulana Ishak          

    Di awal abad 14 M, Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya beragama Hindu dan ada sebagian yang beragama Budha.

    Pada suatu hari, Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang putri belum sembuh juga.

  
  Memang pada waktu itu Kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad Tanah Jawa esok sakit sorenya meninggal. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka-cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.

    Atas saran permaisuri, Prabu Menak Sembuyu kemudian mengadakan sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan putrinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari, seminggu, bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorang pun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara tersebut.

    Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya dengan menugaskan Patih Bajul Sengara untuk mencari petapa sakti guna mengobati penyakit putrinya.

    Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang mengetahui adanya seorang tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksud adalah Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi di negeri Blambangan.

    Patih Bajul Sengara dapat bertemu dengan Syekh Maulana Ishak yang sedang bertafakur di sebuah goa. Setelah terjadi negosiasi  bahwa raja dan rakyat Blambangan mau diajak memeluk agama Islam maka Syekh Maulana Ishak bersedia datang ke istana Blambangan. Ia memang piawai di bidang ilmu ketabiban, Putri Dewi Sekardadu sembuh setelah diobati. Pegebluk juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji raja maka Syekh Maulana Ishak dinikahkan dengan Dewi Sekardadu dan diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.

Ø  Hasutan Sang Patih

    Tujuh bulan sudah Syekh Maulana menjadi Adipati baru di Blambangan. Makin hari semakin banyak saja penduduk Blambangan yang masuk Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi  sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu menjadi panas mengetahui hal ini.

    Tanpa sepengetahuan Prabu Menak Sembuyu, Patih Bajul Sengara sudah mengadakan teror pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin oleh Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa, dan dipaksa untuk kembali pada agama lama. Walau kegiatan itu dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi, akhirnya Syekh Maulana Ishak mengetahui juga.

     Pada saat itu, Dewi Sekardadu sedang hamil 7 bulan. Syekh Maulana Ishak sadar, bila hal itu diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Maka beliau segera pamit kepada istrinya untuk pergi meninggalkan Blambangan.

     Demikianlah pada tengah malam, dengan berat hati Syekh Maulana Ishak pergi meninggalkan istri yang dicinta. Esok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk mengobrak-abrik Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak.

    Dua bulan kemudian, Dewi Sekardadu melahirkan bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisuri merasa senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya. Bayi itu lain daripada yang lain, karena wajahnya bercahaya.

    Namun Patih Bajul Sengara tetap menghasut Prabu Menak Sembuyu. Akhirnya, Prabu Menak Sembuyu memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan ke dalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke samudra.

Ø  Joko Samudra

    Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundur pun tak bisa.

    Nahkoda memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan itu, mungkin perahunya membentur batu karang. Setelah diperiksa, ternyata perahu itu hanya membentur sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga. Nahkoda memerintahkan mengambil peti itu dan membukanya. Ketika dibuka, semua orang terkejut karena di dalamnya terdapat bayi mungil rupawan.

   Kemudian mereka menyerahkan bayi itu kepada Nyai Ageng Pinatih, seorang janda kaya pemilik kapal nahkoda, untuk dijadikan anak angkat. Karena bayi itu ditemukan di tengah samudra, maka Nyai Ageng Pinatih memberinya nama Joko Samudra.

    Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samudra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Akhirnya Sunan Ampel mengetahui bahwa Joko Samudra adalah putra dari Syekh Maulana Ishak atau saudara sepupu Sunan ampel. Lalu sesuai pesan Syekh Maulana Ishak, nama Joko Samudra diganti Raden Paku.

    Raden Paku menikahi dua orang perempuan, yaitu Dewi Murtasiah, putri Sunan Ampel dan Dewi Wardah, putri Ki Ageng Bungkul, seorang bangsawan Majapahit.

Ø  Cara dakwah Raden Paku

     Beliau berdakwah dengan cara sambil berlayar beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepualuan Nusantara. Lama-kelamaan kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya. Raden Paku bertafakur di goa yang sunyi, hanya bermunajat kepada Allah di desa Kembangan dan Kebonmas.

     Beliau mendirikan pesantren di desa Sidomukti, pesantren itu dinamakan Pesantren Giri. Giri dalam bahasa sansekerta artinya gunung.

Ø  Peresmian Masjid Demak

     Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukan wayang kulit yang pada waktu itu bentunya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang. Usul Sunan Kalijaga itu ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia itu haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.

     Sunan Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak itu dengan membuka pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, sedangkan Sunan Giri atau Raden Paku mengusulkan Masjid Demak diresmikan pada hari Jumat sembari melaksanakan shalat Jumat berjamaah.

    
Akhirnya, Sunan Kalijaga mengubah bentuk wayang kulit menjadi lebih mirip karikatur seperti yang ada sekarang ini. Karena tak bisa disebut sebagai gambar manusia maka Sunan Giri menyetujui wayang kult itu digunakan sebagai media dakwah.

Ø  Jasa-jasa Sunan Giri

    Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau.

    Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang Wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan merehkan syariat Islam yang disebarkan para Wali lainnya.  Tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam, antara lain Jamuran, Cublak-cublak Suweng, Jithungan dan Delikan.

    Di antara permainan anak-anak yang dicintainya adalah sebagai berikut.

    Di antara anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang lainnya menjadi obyek buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila telah berpegang pada tonggal atau batang pohon yang telah ditentukan lebih dulu. Inilah permainan yang disebut Jelungan. Arti permainan tersebut adalah seseorang yang sudah berpegang teguh pada agama Islam Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu.

    Sembari melakukan permainan tersebut, biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan:

“padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,

 Dolanane na ing latar,

Ngalap padhang gilar-gilar,

Nudhung begog hangetikar.”

(Malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di halaman, mengambil di halaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit.)

Maksud lagu dolanan tersebut ialah agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.

4.Sunan Bonang

        Sunan Bonang bernama asli Syekh Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Dengan demikian Raden Makdum adalah salah seorang Pangeran Majapahit.

        Sewaktu masih remaja, Radem Makdum Ibrahin dan Raden Paku meneruskan pelajaran agama Islam di Pasai. Mereka belajar kepada Syekh Awalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri atau Raden Paku, yaitu Syekh Maulana Ishak.

Ø  Metode dakwah Sunan Bonang

       Dalam berdakwah, Raden Makdum Ibrahim ini sering menggunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat.

       Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.

       Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.

Ø  Karya sastra Sunan Bonang

        Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

        Suluk berasal dari bahasa Arab, yaitu salakattariiqa artinya  menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut ilmu suluk. Ajaran yang biasa disampaikan dengan sekar atau tembang disebut suluk. Sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut wirid.

        Sunan Bonang wafat pada tahun 1525. Makamnya yang dianggap asli adalah yang berada di Kota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak diziarahi orang dari segala penjuru tanah air.

        

5. Sunan Kalijaga

        Sunan Kalijaga memiliki nama asli Raden Said. Beliau putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Beliau lahir sekitar tahun 1450 M.

         Raden Said pernah berguru kepada Sunan Bonang. Raden Said terkenal dengan nama Sunan Kalijaga. Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai. Karena dia pernah bertapa di tepi sungai.

Ø  Metode dakwah Sunan Kalijaga

       Dalam berdakwah, beliau mempunyai pola yang sama dengan guru sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung mengikuti para sufi. Ia juga menggunakan kesenian dan kenbudayaan sebagai sarana untuk memudahkan dakwah.

       Beliau sangat memperhatikan budaya lokal masyarakat. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.

       Ada pihak yang berpendapat seolah Sunan Kalijaga menggabungkan ajaran Islam dengan ajaran agama lain (sinkretisme),  Sunan Kalijaga menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai suara dakwah. Beliaulah uang menciptakan perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

 

 


6.Sunan Kudus

        Sunan Kudus bernama asli Ja’far Shadiq, putra Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan dan  Syarifah (adik Sunan Bonang). Di sampingbelajar agama kepada ayahnya sendir, Raden Ja’far Shadiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal, di antaranya Kiai Ageng Telingsing, Ki Ageng Ngerang, dan Sunan Ampel. Nama asli Kiai Ageng Telingsing adalah  The Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri Cina yang datang ke Pulau Jawa bersama Laksamana Jenderal Cheng Hoo.

Ø  Metode dakwah Sunan Kudus

a. Strategi pendekatan kepada massa

·         Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar diubah.

·         Bagian adat yang tidak sesuai dengan dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.

·         Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.

·         Menghindarkan konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan agama Islam

·         Pada akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam.

Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunungjati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tidak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut Kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedangkan pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri.

b. Merangkul masyarakat Hindu

          Di Kudus waktu itu penduduknya banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukan pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Di dalam masyarakat seperti itulah Ja’far Shadiq harus berjuang menegakkan agama.

          Pada suatu hari Sunan Kudus atau Raden Ja’far Shadiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari India. Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus.

          Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para dewa. Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus?

          Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari rumahnya dan berkata,”Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai, saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di waktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.”

          Mendengar ceria tersebut, para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden Ja’far Shadiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. Masyarakat makin tertarik, ketika mendengar ceramah dari Sunan Kudus bahwa di dalam Al Qur’an terdapat surah Al Baqarah yang artinya sapi. Mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.

         Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kudus pun tak jauh beda dengan candi-candi milik orang Hindu. Demikianlah, setelah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.

c. Merangkul masyarakat Budha

          Setelah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat wudlu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca kepala Kebo Gumarang di atasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran agama Budha “Jalan berlipat delapan” atau “Asta Sanghika Marga” yaitu:

1.Harus memiliki pengetahuan yang benar.

2.Mengambil keputusan yang benar.

3.Berkata benar.

4.Hidup dengan cara yang benar.

5.Bekerja dengan benar.

6.Beribadah dengan benar.

7.Menghayati agama dengan benar.

          Dengan usaha ini, banyak umat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan. Sehingga mereka berdatangan ke masjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
d. Selamatan mitoni

          Seperti diketahui, rakyat Jawa banyak yang melakukan adat-adat yang aneh, yang bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan untuk menunjukkan bela sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni, mitoni, dan lain-lain.
Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.

7.Sunan Drajad

         Sunan Drajad memilik nama asli Raden Qasim, beliau putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang. Raden Qasim diperintah ayahnya untuk berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban dan Gresik.

         Kemudian Raden Qasim membangun tempat dakwah yang strategis yaitu di bukit Dalem Duwur, yang sekarang dibangun museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat museum tersebut.

      

Ø  Metode dakwah Sunan Drajad

        Raden Qasim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya, dalam berdakwah menyebarkan agama Islam, beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus diamalkan dengan lurus dan benar sesuai ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur baur dengan adat dan keperceyaan lama. Meski demikan, beliau juga menggunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah.

        Ajaran Sunan Drajad yang terkenal, yaitu bersumber dari:

1.Al qur’an

2.Sunnah

3.Ijma’

4.Qiyas

5.Ajaran guru dan pendidik seperti Sunan Ampel atau orang tuanya.

6.Ajaran dan pemikiran atau paham yang telah tersebar luas di masyarakat.

7.Tradisi di masyarakat setempat yang telah ada yang sesuai ajaran Islam.

8.Fatwa Sunan Drajad sendiri.



  8.Sunan Muria

        Sunan Muria memilki nama asli Raden Umar Said. Beliau adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Dalam berdakwah, beliau menggunakan cara halus. Tempat tinggal beliau di Gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya di sebelah utara Kota Kudus. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut, dan rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam.


9.Sunan Gunungjati

        Sunan Gunungjati memiliki nama asli Syarif Hidayatullah. Beliau adalah putra pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina, Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda dengan Syarifah HidayatMudaim, seorang putri raja Pajajaran.

        Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati. Dalam menyebarkan agama Islam di Jawa, beliau tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan beliau juga membantu berdirinya Masjid Demak.

        Dalam berdakwah, Sunan Gunungjati menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun beliau juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.

        Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kesultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kesultanan Pakungwati. Dengan demikian Sunan Gunungjati  merupakan pemimpin pemerintahan.

         Dakwah besar-besaran dari Samudra Pasai berhasil memunculkan kesultanan-kesultanan di seluruh Nusantara mulai abad 15 hingga awal abad 19 M, di antaranya sebagai berikut.

1.      Tahun 1402, berdiri Kesultanan Bandar Darussalam di Kalimantan Utara dengan Awang Alang Bekatar, seorang Raja Brunei yang masuk Islam sebagai sultan pertamanya dengan gelar Sultan Muhammad Syah.

2.      Tahun 1414, di Semenanjung Malaya berdiri Kesultanan Malaka. Kesultanan Islam ini dikonversi dari Kerajaan Hindu oleh Parameswara, sang raja yang menjadi yang menjadi sultan pertamanya dengan gelar Sultan Mecca Iskandar Syah.

3.      Tahun 1457, berdiri Kesultanan Sulu dipimpin oleh Paduka Maulana Mahesyari Syarif Sultan Hasyim Abu Bakar sebagai sultan pertamanya.

4.      Tahun 1478, di Jawa berdiri Kesultanan Demak dengan Pangeran Jin Bun sebagai sultan pertamanya dengan gelar Sultan Alam Akbar Al Fattah.

5.      Tahun 1487, di Gresik berdiri Kesultanan Giri dengan Raden Paku sebagai sultan pertama dengan gelar Prabu Satmata.

6.      Tahun 1486, di Semenanjung Malaya berdiri Kesultanan Pattani dengan Payatul Na’pa, seorang raja Budha yang masuk Islam sebagai sultan pertama dengan gelar Sultan Islamil Syah.

7.      Tahun1486, di Kepulauan Maluku berdiri Kesultanan Ternate dengan Sultan Zaenal Abidin sebagai sultan pertama, dan Kesultanan Tidore dipimin oleh Zaelolo dan Bacca.

8.      Tahun 1511, di Aceh, kesultanan-kesultanan menggabungkan diri menjadi Kesultanan Aceh Raya Darussalam dengan ibu kota di Banda Aceh dengan sultan pertamanya Sultan Ali Mughayat Syah.

9.      Tahun 1524, berdiri Kesultanan Banten dengan sultan pertamanya Pengeran Sebakingking, dengan gelar Sultan Maulana Hasanudin.

10.  Tahun 1528, Kesultanan Malaka dikuasai Portugis, di Semenanjung Malaya berdiri Kesultanan Perlak dengan Sultan Ja’far Syah sebagai sultan pertama.

11.  Tahun 1530, di ujung Semenanjung Malaya berdiri Kesultanan Johor dipimpin oleh Sultan Abidin Righayat Syah.

12.  t hun 1531, di Madura barat berdiri Kesultanan Arosbaya dengan Pratano sebagai sultan pertama dengan gelar Panembahan Lemah Tuo.

13.  Tahun 1538, di Sulawesi Tenggara berdiri Kesultanan Buton, setelah Raja Buton yang ke-6, yakni Timbang-timbangan atau Haluoleo memeluk agama Islam.

14.  Tahun 1539, di Sumatra Selatan berdiri kesultanan Palembang dengan Ki Gede Suro sebagai sultan pertamanya.







BAB III
       PENUTUP
  KESIMPULAN:

    Dalam uraian di atas maka dapat disimpulkan:

1 wali songo adalah penyebar agama islam di indonesia yang banyak membuat perubahan                     bagi umat muslim di indonesia

2 . Didalam penyebaran agama islam, banyak sekali tantangan dan hambatan yang dialami    demi tegaknya agama yang benar dan sesuai dengan syari’at agama islam.

3. Didalam berdakwah, para walisonga banyak yang menggunakan peralatan tradisioanal  yang sudah terdapat didaerah yang sudah ada dimedan untuk berdakwah.
  
  4. Bahwa pertama kali muncul adanya walisongo, diawali dari pulau jawa.

5. Dengan kesabaran dan kekukuhan yang dimiliki oleh para walisongo, mampu mengajarkan serta menyakinkan ilmu tentang ketauhidan kepada Allah SWT


Keberhasilan islamisasi jawa merupakan hasil perjuangan dan kerja keras walisongo. Proses islamisasi ini sebagian besar berjalan secara damai nyaris tanpa konflik, baik politik maupun kultural. Meskipun terdapat konflik sekaligus skalanya sangat kecil, sehingga tidak mengesankan sebagai perang, kekerasan ataupun pemaksaan budaya, sehingga penduduk jawa menganut Islam secara sukarela.
























DAFTAR PUSTAKA
[1] Mukhlis PaeEni, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Religi dan Filsafat), ( Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009), hlm 76
[2] Mukhlis PaEni, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Sistem Sosial), (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2009)  hal 128-129
[3] Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Tsanawiyah Untuk Kelas IX Semester 1 dan 2, (Bandung,: CV ARMICO, 2009), hlm. 25-26
[4] Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm21- 22.
[5] Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa, (Yogyakarta: GRAHA Pustaka, 2009), hlm 16
[6] Fatah syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), hlm  193-194
[7] Abu Su’ud, Islamologi(Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia),(Jakarta: PT  Rineka Cipta, 2003), hlm. 125
[8] Abu Su’ud, Islamologi(Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia),..hlm  194
[9] Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah untuk Kelas IX Semester 1 dan 2,...hlm. 27-29.
[10] Abu Su’ud, Islamologi(Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia),..hlm.195
[11]Fatah syukur, Sejarah Peradaban Islam,.. hlm  196
[12]  Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah untuk Kelas IX Semester 1 dan 2,...hlm. 29
[13]Fatah syukur, Sejarah Peradaban Islam,,.. hlm  196
[14]  Ridin Sofwan, dkk, Islamisasi Islam di Jawa Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 65
[15] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam,.. hlm. 196
[16] Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 308
[17]  Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah untuk Kelas IX Semester 1 dan 2,...hlm. 33
[18] Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa,..  hlm 130
[19] Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah untuk Kelas IX Semester 1 dan 2,.. hlm. 34
[20] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam,,..,hlm  199
[21] Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa,.. hlm. 137-138
[22] Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah untuk Kelas IX Semester 1 dan 2,.. hlm. 34-45
[23] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam,,.. hlm  199
[24] Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah untuk Kelas IX Semester 1 dan 2,..hlm. 35
[25] Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa,.. hlm. 5
[26] Mukhlis PaEni, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Sistem Sosial),.. hlm 128-129
[27]http://zulfanioey.blogspot.com/2008/12/peran-walisongo-dalam-penyebaran-islam.html,16-04-2013, 08.30
[28]http://id.shvoong.com/humanities/history/2183822-peranan-walisongo-dalam-penyebaran Sunanto Musyrifah,Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta:Raja Grafindo Persada;2005)
Gustave E.Von Grunebaum (Ed),Islam Kesatuan dalam Keragaman,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1983)
Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional II(Jakarta:Balai Pustaka;1984)
Taufik Abdullah, Sejarah Umat Islam Indonesia,(Jakarta:Majelis Ulama Indonesia;1991)
J.C.Van Leur, Indonesian Trade and Society (Bandung:Sumur Bandung;1960)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada;2007)
Sunanto Musyrifah,Sejarah Peradaban Islam Indonesia,Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,2005
Uka Tjanrasasmita, Sejarah Nasional III (Jakarta:PN Balai Pustaka;1976)
Azyumardi,Renaisan Islam Asia Tenggara,sejarah Wancana dan Kekuasaan (Bandung:PT Remaja Rosda Karya;1999)
Ishaq Rusli dan Ummah Zaenatul,Sejarah Kebudayaan Islam MA Kelas XII,(Jakarta:Arya Duta;2007)
Abas Wahid dan Suratno,Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam,(Solo;PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri)
Wahyu Ilahi & Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah,(Jakarta:Persada Media Group;2007)
Hasymy.A,Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,pt almatarif:1993
 agama/#ixzz2Qgi7upKQ, 16-04-2013, 08.45



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Cupek mengatakan...

Subkhanalloh..
Bgs artikelnya..

Posting Komentar